Lewat FGD, KPK Dorong Pembaruan UU Tipikor Guna Jawab Kompleksitas Korupsi Modern. (Sumber: KPK)
Jakarta, The Indonesian Time - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berkomitmen memperkuat sistem hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mencari Bentuk Politik Kriminal dalam Perubahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” di Auditorium Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta, pada Jumat (12/9).
Ketua KPK, Setyo Budiyanto dalam pembukaan menekankan, Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU/20/2001 tentang Tipikor telah berlaku lebih dari dua dekade, sementara modus dan kompleksitas korupsi terus berkembang.
“Seperti kasus impor sapi yang pernah ditangani KPK, trading influence tidak diatur dalam UU Tipikor, sehingga KPK mencari jalan keluar agar dapat dipidanakan. Banyak masalah dalam UU Tipikor yang tak lagi sesuai perkembangan. Dampaknya, pemberantasan tipikor tidak efektif, efisien, dan maksimal,” ungkap Setyo kepada 60 peserta FGD.
Lebih lanjut, menurut Setyo, kondisi ini tercermin dari skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2024 yang berada di angka 37—menempatkan Indonesia di peringkat ke-99 dari 180 negara. Indeks persepsi korupsi dinilai linear dengan upaya pemberantasan korupsi melalui regulasi tipikor yang baik.
Setyo menambahkan, diperlukan pembaruan hukum yang lebih adaptif dan komprehensif dengan mengintegrasikan strategi penal dan non-penal. Ia juga menyoroti pentingnya dukungan publik guna mendorong pemerintah dan legislatif segera melakukan pembaruan.
Isu Strategis yang Mengemuka
Adapun FGD menghadirkan dua narasumber utama, yaitu pakar hukum pidana, Prof. Topo Santoso, dan pakar hukum internasional serta kebijakan publik, Taufik Rachman. Diskusi juga diikuti perwakilan Kemenkumham, aparat penegak hukum, masyarakat sipil antikorupsi, peneliti, serta akademisi.
Dalam paparannya, Topo Santoso menyoroti norma dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang belum diakomodasi dalam UU Tipikor, seperti penyuapan pejabat publik asing, penyuapan di sektor swasta, dan penggelapan kekayaan di sektor swasta.
“UU Tipikor sudah lebih dari 24 tahun mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2001. Sejak itu pula belum ada tinjauan komprehensif yang sifatnya rasional, mendalam, serta berdasarkan evaluasi filosofis, yuridis, dan sosiologis,” tutur Topo.
Sementara, Taufik Rachman menekankan pentingnya memasukkan tindak pidana baru seperti trading in influence, illicit enrichment, dan private bribery. Ia juga mendorong inovasi hukum, termasuk perpanjangan masa kadaluarsa perkara, Deferred Prosecution Agreement (DPA), citizen law suit, hingga penguatan mekanisme penggantian kerugian negara.
“Selain itu juga perlu menyesuaikan pengaturan uang pengganti, memperjelas makna merugikan perekonomian negara, dan memperkenalkan jenis sita yang bertujuan untuk mengganti kerugian,” papar Taufik.
Hal lain yang turut dibahas di antaranya :
- Persoalan kebijakan sosial guna mencegah tipikor, misalnya kewajiban menyampaikan LHKPN, pengaturan benturan kepentingan, kewajiban pengembangan pendidikan anti korupsi.
- Persoalan kelembagaan dalam memberantas korupsi, misalnya koordinasi antarlembaga penegak hukum, independensi KPK, dan lembaga audit kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Langkah Strategis ke Depan
FGD ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang sebelumnya diawali dengan dua FGD dan satu seminar. Proses ini ditujukan untuk merumuskan Rekomendasi Kebijakan Perubahan UU Tipikor, yang menjadi mandat KPK dalam Pokja 1 bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham.
Hasil akhir dari rangkaian ini akan dituangkan dalam Naskah Akademik (NA) sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. FGD ini menjadi momentum penting dalam upaya pembaruan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dengan melibatkan berbagai pihak dan mengkaji isu-isu strategis secara mendalam, KPK menunjukkan komitmennya guna memperkuat sistem hukum yang lebih responsif, adil, dan efektif dalam menghadapi tantangan korupsi yang semakin kompleks.***