Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ombudsman RI: Harga Beras Mahal Bukan Karena Kurangnya Stok, Tetapi Tata Kelola yang Buruk

Selasa, 02 September 2025 | September 02, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-03T17:36:00Z
Ombudsman RI: Harga Beras Mahal Bukan Karena Kurangnya Stok, Tetapi Tata Kelola yang Buruk. (Sumber: Ombudsman RI)

Jakarta, The Indonesian Time - Ombudsman Republik Indonesia menegaskan bahwa kenaikan harga beras yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kekurangan stok, melainkan karena tata kelola perberasan yang tidak optimal. Untuk itu Ombudsman RI memberikan 5 catatan kepada pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola perberasan nasional.

Hal tersebut disampaikan Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers bertajuk"Menjamin Hak Publik atas Beras Berkualitas dan Terjangkau", Rabu (3/9/2025) di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.

Sejak Agustus 2025, Ombudsman melakukan pemantauan di Karawang, Pasar Induk Beras Cipinang, 137 ritel tradisional di 25 provinsi dan ritel modern di Jabodetabek. Hasil pemantauan menunjukkan pasokan gabah ke penggilingan padi menurun, sementara dari 35 ritel modern yang dipantau di wilayah Jabodetabek, 8 di antaranya tidak memiliki stok beras untuk dijual.

Harga beras premium tercatat mulai Rp14.700 per kilogram hingga Rp32.400 per kilogram, sedangkan beras non-premium dijual Rp21.000-Rp37.500 per kilogram. Beras operasi pasar SPHP tersedia di harga Rp12.500 per kilogram, namun kualitas dan mutunya kerap dikeluhkan masyarakat.

"Ombudsman juga mencatat kondisi cadangan beras pemerintah yang mengkhawatirkan. Dari total stok Bulog 3,9 juta ton, terdapat lebih dari 1,2 juta ton beras berumur lebih dari enam bulan. Kondisi ini berpotensi menimbulkandisposal hingga 300 ribu ton dengan taksiran kasar kerugian negara sekitar Rp4 triliun," ungkap Yeka.

Ia menambahkan, realisasi penyaluran SPHP baru mencapai 302 ribu ton atau 20 persen dari target 1,5 juta ton, dengan rata-rata distribusi harian hanya 2.392 ton. Jauh di bawah kebutuhan harian sekitar 86.700 ton.

Yeka juga menyoroti realisasi bantuan pangan baru 360 ribu ton atau sekitar 98,62 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2024. Menurutnya, baik SPHP maupun bantuan pangan belum mampu menekan harga beras yang secara umum masih di atas HET. Ombudsman menilai kondisi tersebut memperbesar biaya pengelolaan di Bulog, mulai dari pengadaan gabahany quality, penyimpanan stok hingga 4 juta ton, serta penyaluran cadangan beras pemerintah yang rendah. Total taksiran kasar potensi kerugian negara akibat tata kelola perberasan tersebut diperkirakan mencapai Rp3 triliun.

Menurut Yeka, kondisi tersebut membuka ruang terjadinya maladministrasi. Potensi maladministrasi yang menonjol meliputi risikodisposal stok cadangan beras pemerintah, penyaluran SPHP yang tidak berkualitas, keterbatasan ketersediaan beras di ritel modern, harga beras yang tetap di atas HET, serta potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah.

"Publik kini menghadapi situasi harga mahal, kualitas rendah, dan distribusi terbatas. Jika ini dibiarkan, akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pangan," ujarnya.

Ombudsman pun memberikan catatan kepada pemerintah agar segera memperkuat operasi pasar SPHP dengan jaminan kualitas, mendorong Satgas Pangan mengevaluasi distribusi, memberikan iklim usaha yang nyaman dan melibatkan pelaku usaha secara transparan. Ombudsman mendorong pemerintah memastikan bantuan pangan untuk masyarakat miskin disalurkan hingga Desember 2025.

"Karena ada potensi potensi kerugian negara, maka sebaiknya Presiden Republik Indonesia menugaskan BPKP melakukan evaluasi menyeluruh agar tata kelola pangan lebih akuntabel dan pembagian peran antarinstansi menjadi lebih jelas. Ombudsman akan melakukan investigasi lebih lanjut terkait tata kelola cadangan beras pemerintah yang ada saat ini," jelasnya.***
×
Berita Terbaru Update