Santri Delegasi Jateng Juara Debat Bahasa Inggris di MQK Nasional. (Sumber: Kemenag)
Sulawesi Selatan, The Indonesian Time - Suasana aula utama di arena Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Nasional VIII di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, mendadak hening ketika tiga santri asal Jawa Tengah berdiri di panggung di Pesantren As’adiyah Sengkang, Minggu (5/10/2025).
Mereka menatap dewan juri dan penonton. Di tangan mereka bukan sekadar naskah debat, tetapi tekad untuk menunjukkan bahwa santri mampu berbicara dengan logika global tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.
Mereka adalah Hilya, Najmah, dan Viki. Tiga santriwati muda yang akhirnya mengantarkan kafilah Jawa Tengah meraih Juara 1 lomba debat Bahasa Inggris MQK Nasional 2025. Dalam babak final yang sengit, mereka berhasil menundukkan tim tangguh dari Sumatra Utara lewat argumentasi yang matang, rasional, dan meneduhkan.
Tema debat kali ini cukup berat: “Illegal logging in Islamic educational institutions must be punished under sharia law.”
Sebagai tim oposisi, mereka menolak usulan bahwa penebangan liar di lembaga pendidikan Islam harus dihukum dengan hukum pidana syariah. Namun penolakan itu bukanlah bentuk penentangan terhadap syariah, melainkan upaya menegaskan bahwa nilai-nilai syariah bisa ditegakkan melalui sistem hukum negara yang sah, adil, dan efektif.
“Kami tidak menolak syariah,” ujar Hilya, pembicara pertama, membuka debat dengan tenang.
“Kami justru ingin memastikan bahwa nilai-nilainya dijalankan dengan sistem hukum yang terukur dan bisa diterapkan dengan adil,” tegasnya dalam video yang disiarkan langsung oleh YouTube As'adiyah Channel, Ahad (5/10/2025).
Dalam paparannya, mereka menunjukkan bahwa hukum administratif di Indonesia sudah sejalan dengan prinsip syariah, seperti menjaga kemaslahatan (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah).
Najmah, pembicara kedua, bahkan mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menunjukkan penurunan deforestasi nasional dari 462 ribu hektare pada 2019 menjadi 104 ribu hektare pada 2022.
“Itu bukti bahwa hukum nasional kita sudah bekerja,” ujarnya penuh percaya diri. “Jadi, yang dibutuhkan bukan sistem baru, tapi perbaikan pelaksanaan yang lebih transparan dan akuntabel.”
Sementara Viki, pembicara ketiga, menutup dengan nada reflektif dan spiritual. Ia menegaskan bahwa menaati hukum negara bukan berarti menyalahi syariah. Sebab, selama peraturan tidak bertentangan dengan Islam, maka ketaatan kepada hukum negara adalah bagian dari ketaatan kepada ulil amri (pemimpin yang sah).
“Yang penting bukan bentuk hukumnya. Akan tetapi, apakah hukum itu membawa kemaslahatan bagi umat dan menjaga bumi sebagai amanah Allah,” ucap gadis berkacamata ini.
Tampilkan Keseimbangan
Penampilan tim Jawa Tengah menuai pujian dari para juri. Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Hj Ala’i Nadjib, yang menjadi salah satu dewan juri, menyebut tim ini berhasil menampilkan keseimbangan antara kecerdasan logis dan kehalusan adab santri.
“Mereka bukan hanya berdebat untuk menang. Akan tetapi, juga menunjukkan kedewasaan berpikir sebagai santri. Argumennya kuat secara hukum, bahasanya elegan, dan sikapnya meneduhkan,” ujarnya.
Menurut Ala’i, inilah esensi debat dalam MQK. Bukan sekadar ajang adu retorika, tetapi ruang bagi santri untuk mengasah nalar kritis, kematangan spiritual, dan kemampuan berdialog dengan dunia modern.
Kemenangan ini menjadi bukti bahwa santri Indonesia bukan hanya ahli dalam kitab kuning, tetapi juga mampu mengartikulasikan nilai-nilai Islam dalam bahasa dunia: keadilan, kemaslahatan, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Usai pengumuman juara, ketiganya saling berpelukan. “Kami tidak menyangka akan menang. Kami hanya ingin menunjukkan bahwa santri bisa berpikir kritis, berdebat dengan sopan, dan membawa pesan Islam yang ramah terhadap alam,” kata Viki sambil tersenyum haru.
Bagi Hilya, Najma, dan Viki, kemenangan ini bukan sekadar trofi, melainkan pembuktian bahwa santri mampu menjaga bumi dengan ilmu, iman, dan akhlak.***