BMKG-Kementerian PU Bersinergi Perkuat Infrastruktur Hadapi Banjir dan Kekeringan Ekstrem. (Sumber: BMKG)
Jakarta, The Indonesian Time - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, dengan tegas menyatakan bahwa data global membuktikan perubahan iklim adalah realitas nyata, bukan sekadar isu belaka. Data terkini menunjukkan kenaikan suhu udara global telah mencapai level kritis, menimbulkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan dan infrastruktur di Indonesia.
“Grafik suhu udara global sejak 1850 hingga 2025 menunjukkan bahwa kenaikan suhu yang signifikan dimulai sekitar tahun 1975 dan melesat secara eksponensial. Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan suhu mencapai 1,55 derajat celsius di atas periode pra-industri,” kata Dwikorita dalam Rapat Koordinasi Upaya Mitigasi serta Kesiapsiagaan Menghadapi Iklim dan Cuaca Ekstrem di Gedung Multi Hazard Early Warning System (MHEWS), Kantor Pusat BMKG, Jumat (26/9).
Lebih lanjut, kenaikan 1,55°C ini sudah melampaui batas aman yang disepakati untuk dicegah pada tahun 2100. Periode 2015 hingga 2024 juga ditetapkan sebagai periode 10 tahun terpanas sepanjang sejarah.
Analisis BMKG menunjukkan bahwa tren kenaikan suhu juga terjadi di seluruh kota besar di Indonesia. Secara rata-rata, Indonesia telah mengalami kenaikan suhu 1,2°C dibandingkan masa pra-industri (1850-1900). Namun, khusus untuk Jakarta data menunjukkan tren kenaikan suhu yang lebih tinggi dari rata-rata global, yaitu 1,6 derajat celsius per 100 tahun.
Adapun dampak nyata dari perubahan iklim tersebut, Dwikorita menegaskan kenaikan suhu ini berimplikasi langsung pada perubahan pola iklim yang ekstrem di Indonesia dan global. Di mana, pola curah hujan berubah drastis yang membuat secara global kenaikan suhu menyebabkan anomali curah hujan.
Sebagian wilayah cenderung menjadi jauh lebih basah (peningkatan curah hujan melampaui 80-90%), yang memicu bencana banjir. Sementara itu, wilayah lain menjadi semakin kering (penurunan hingga lebih dari 10-20%), yang menyebabkan krisis air dan berakibat munculnya global water hotspot, mengakibatkan kelangkaan air dan krisis air yang meluas.
Dampak lainnya adalah terjadinya ancaman ketahanan pangan. Dwikorita menyoroti proyeksi Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyebutkan hingga tahun 2050 menunjukkan peningkatan kerawanan pangan (vulnerability) secara global jika manusia gagal mengendalikan laju kenaikan suhu.
“Ini berarti Indonesia dan negara lain berpotensi kesulitan mengimpor pangan karena kelangkaan terjadi di mana-mana. Kita punya waktu 25 tahun untuk memastikan infrastruktur kita dapat menggeser kerawanan ini,” tegasnya.
Perhatian Khusus untuk Infrastruktur Sumber Daya Air
Data curah hujan ekstrem dalam 33 tahun terakhir (1991-2024) juga menunjukkan bahwa kejadian hujan sangat lebat hingga ekstrem (>150 mm/hari) semakin merata di seluruh Indonesia.
“Selama 33 tahun terakhir, akumulasi curah hujan maksimum 1 hari menunjukkan kejadian hujan ekstrem lebih sering dan merata. Ini adalah indikator penting untuk mengkaji potensi banjir dan bencana hidro-meteorologi,” ujar Dwikorita.
BMKG mengimbau agar data-data ini, yang menunjukkan wilayah yang cenderung semakin basah (seperti Kalimantan dan sebagian Papua) dan semakin kering (seperti Nusa Tenggara), menjadi dasar utama bagi Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan pemangku kepentingan lainnya dalam merancang infrastruktur pengendalian bencana dan sumber daya air yang tangguh.
Sementara itu, Wakil Menteri Kementerian PU Diana Kusumastuti menegaskan komitmennya untuk segera merespons data peringatan BMKG terkait tren kenaikan suhu, perubahan curah hujan, dan potensi kekeringan ekstrem dalam 25 tahun mendatang. Infrastruktur PU akan didesain ulang dan diperkuat untuk menghadapi ancaman ganda yaitu banjir yang semakin sering dan kekeringan yang meluas.
“Perkembangan curah hujan dan suhu yang ekstrem ini akan sangat berdampak pada infrastruktur yang kita bangun. Tugas kita tidak hanya mengendalikan banjir, tetapi juga menjamin ketersediaan air dan ketahanan pangan,” ujar Diana.
Lebih lanjut, dalam menghadapi potensi kekeringan, Diana memprioritaskan akselerasi irigasi yang harus diselesaikan pada tahun 2026 dan pemetaan bendungan baru dengan pemetaan ulang untuk pembangunan bendungan-bendungan baru, khususnya di daerah rawan kekeringan seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan wilayah selatan Pulau Jawa, guna menjamin pasokan air baku.
Kementerian PU juga mencatat beberapa aspek infrastruktur yang membutuhkan perhatian intensif akibat curah hujan yang semakin tinggi dan ekstrem seperti operaso dan pemeliharaan intensif, peningkatan standar jembatan, dan antisipasi longsor serta kerusakan jalan.
“Konstruksi jalan dan jembatan harus disesuaikan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diperbarui, memperhitungkan daya serap tanah yang rendah dan limpasan air (overtopping),” jelasnya.
Pun, Diana mendorong kolaborasi lebih erat dengan BMKG untuk integrasi data. Kementerian PU berkomitmen menjadikan data ilmiah dari BMKG sebagai dasar utama dalam setiap desain dan keputusan infrastruktur, demi mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih tangguh dan aman dari risiko bencana hidro-meteorologi.
“Kami butuh sistem peringatan dini yang bisa memberikan informasi beberapa hari atau seminggu sebelumnya, bukan hanya saat bencana terjadi. Kolaborasi dengan BMKG dan Pusdatin Kementerian PU sangat vital agar tim di lapangan kami bisa melakukan antisipasi sebelum bencana,” pungkasnya.***